Thursday, January 11, 2018

The Breaking News

Terbangun pagi-pagi karena kebelet buang air kecil. Ketika memasuki kamar mandi, pandanganku tertuju pada satu pak pregnancy test pack yang aku beli sehari sebelumnya. Jadi ingat kalau aku belum haid selama 5-6 minggu. Yang aku ingat, haid terakhirku adalah di tanggal 3 November 2017 sementara hari itu sudah tanggal 8 Januari 2018.

Setelah menampung urine di sebuah wadah, kucelupkan alat tes ke cairan urine. Entah sudah puluh kali hal ini kulakukan dan selama 12 tahun lebih stripnya selalu hanya 1. Pelan-pelan cairan tubuhku itu merambat naik, memerahkan strip penanda. Strip ke-1 - oke. Cairan masih naik lagi, terus, terus, lalu memunculkan strip  ke-2. Merah, namun samar.

Jantungku berhenti berdenyut selama sepersekian detik. Mungkinkah?

Detik demi detik berlalu dan strip ke-2 kian memerah. Cukup untuk meyakinkan aku bahwa kadar hCG (human chorionic gonadotropin) dalam tubuhku meningkat. Indikasi awal kehamilan.

Sejenak aku tercenung, menelaah perasaanku sendiri. Apa yang aku rasakan? Tahun ini usiaku 43 tahun, mempunyai seorang anak gadis yang sudah remaja, dan sedang memasuki babak baru dalam urusan karir. Am I ready? Perlahan-lahan gelombang hangat melanda tubuhku dan aku tersenyum. I am happy.

Aku teringat dua peristiwa dalam hidupku yang melibatkan almarhum bapak angkatku, Bapak Sihotang. Tahun 2014, aku menjalani upacara menjadi anak perempuan angkat sebuah keluarga Batak dan dilanjutkan dengan upacara kawin adat. Saat itu aku sudah berumur 39 tahun. Bapak Sihotang memberi berbagai wejangan dan doa, antara lain supaya kami bisa memperoleh momongan lagi. "Jangan berputus asa," kata beliau. Saat itu aku tersenyum dalam hati. Sudah lama aku melupakan mimpi untuk punya anak lagi. Tidak tebersit keinginan untuk menjalani program kehamilan dengan dokter kandungan. Aku sudah cukup berbahagia dengan satu anak.

Peristiwa kedua baru-baru saja terjadi. Tanggal 31 Desember 2017 kami mudik ke Pematang Siantar dan bertemu dengan keluarga angkatku lagi. Karena ibu mertua membawa daging, akhirnya ibu angkatku memanggil kerabat keluarga Sihotang untuk menyambut. Ayah angkatku sudah meninggal setahun yang lalu, jadi kali ini kami hanya bertemu dengan saudara-saudara angkatku yang laki-laki dan istri-istri mereka. Ada juga satu orang tetua, Bapak Hasugian, yang kerap menjadi raja parhata (juru bicara / pidato) dalam acara-acara keluarga Sihotang. Kali itu pun, Oppung kami Hasugian juga mendoakan agar kami mendapatkan anak lagi. 

Aku sama sekali tidak menyangka, hanya seminggu setelah pulang dari kampung, hasil tesku akan positif.

Aku berjalan dari kamar mandi ke kamar tidur. Bapaknya Naomi masih terlelap. Tadinya mau aku biarkan, tapi karena dorongan perasaan yang sudah membuncah, aku bangunkan suamiku. Dalam keadaan dia masih separuh bermimpi, kukabarkan berita besar ini. 

"Pa. Kayaknya aku hamil."

Momen selanjutnya tidak kuingat dengan jelas. Antara terdiam, gembira, cemas. Kumaklumi perasaan suamiku. Meskipun kami sering bercanda bagaimana jika suatu hari aku hamil lagi, dia tidak pernah benar-benar berpikir hal itu akan pernah terjadi. Bahkan sehari sebelum itu, suamiku masih  bertanya 'apa yang akan kamu lakukan kalau aku pergi / meninggal.' Pertanyaan yang langsung kutepis dengan kata-kata 'terlalu jauh pemikiranmu.'

Pagi itu juga, ketika aku sudah berada di kantor, aku menghubungi paramedis perusahaan, meminta beliau membuatkan janji untuk tes lab di pagi berikutnya. Tanggal 9 Januari 2018 petugas datang ke rumah, mengambil sampel urine dan darah (untuk cek Hg, karena Hg-ku sempat drop). Siang harinya hasilnya sudah keluar dan menguatkan dugaan awal kami. Aku positif hamil.

I know I have high risks. But I am ready.

Paiton, 13 Januari 2018

Friday, October 12, 2012

Interfere, Or Not?

This is a very, very, very upsetting news for everybody.

There was a time in my life when I was close to someone and the destiny drifted us apart, which caused me missing the terrible part of that one’s story. Simply put, I wasn’t there. Not that it was my fault, it was just the way it was.

And now that another chapter of misery came before me, I am asking myself: what I can do? Or a more basic question is: do I even need to do anything without one’s permission?

Paiton, 13 October 2012
*after 8 days

Monday, December 5, 2011

Manusia Biasa

Yang jelata canggung berada di antara yang aristokrat, sekaku kelinci melompat di lintasan ular. Yang di atas awan waspada saat berada di atas tanah, tidak yakin persinggungan itu akan membawa angin semilir atau ledakan petir. Satu selalu waspada terhadap yang lain. Ketegangan yang hanya bisa dilenturkan oleh kedekatan dan waktu.

Bukankah kita semua manusia biasa saja?

Paiton, 6 Desember 2011
*reading-Madre

Tuesday, March 22, 2011

Di Luar Doa

Terima kasih, Tuhan. Engkau sungguh baik.

Ketika aku mencarimu dalam doa dan meditasi, aku tidak bertemu dengan-Mu dalam situasi yang kumau. Mengapa menyapa-Mu terasa seperti bekerja? Tidak ada dialog hangat yang kita lakukan ketika kita asyik bercakap-cakap. Yang bisa kulontarkan hanya sisa-sisa hapalan dari buku, atau ingatan samar dari doa yang diucapkan bibir orang lain. Oh hati, mengapa kau tidak berdenyut?

Lalu hari ini Kau sapa aku. Lewat sehalaman tulisan temanku yang satu, lalu yang satunya lagi. Lalu Kau kirim imaji-imaji indah yang menggerakkan angan khayalku. Tuhan, aku ekstasi! Dan tiba-tiba saja aku ingin berseru-seru, menangis dan tertawa bersama-Mu. Bukan karena kesedihan atau kegembiraan, tetapi karena kini aku ingat mengapa aku rindu pada-Mu.

Izinkan aku mencintai-Mu dengan jari-jariku.

Paiton, 23 Maret 2011

Menulis Lagi

Sudah cukup lama aku tidak menulis dengan "hati". Meskipun tetap rajin blogging, aku lebih banyak menulis artikel-artikel yang berkaitan dengan kegiatan kuliner. Selain menyalurkan kreativitas pribadi, aktivitas tersebut ternyata membawa manfaat ekonomis bagi orang banyak. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang mengirim email dan meminta izin untuk meminjam resep atau desain kue yang aku  buat.

Hari ini kerinduan untuk bercerita itu menyeruak kembali. Awal mulanya karena menemukan tulisan teman lama di sini. Bahwa menulis itu adalah habitual action. Bahasa zaman dulunya mungkin 'alah bisa karena biasa.'

Dulu aku biasa menulis di Friendster. Sejak Friendster kalah pamor dengan Facebook, keinginan untuk membuka Friendster juga memudar. Facebook memberi ruang untuk kita menulis, tetapi jujur saja, lebih asyik membacai status, mengunggah foto dan bermain Scrabble daripada menulis. Kesimpulanku, untuk urusan bercerita tetap lebih nyaman menggunakan fasilitas blogging, entah yang disediakan Wordpress, Blogger atau aplikasi lain baik yang gratis maupun berbayar.

Sampai hari ini aku belum melepaskan impianku untuk menjadi seorang penulis. Penulis yang sebenar-benarnya, bukan penulis dua-tiga paragraf. Penulis yang membuat pembacanya tidak bisa meletakkan buku hingga halamana terakhir, sebelum akhirnya menghembuskan nafas lega atau kecewa. Penulis yang meletakkan sebatang lilin di ujung lorong yang gelap, yang memberi sepercik cahaya bagi mereka yang mencarinya. Penulis yang disambangi ilham sehingga mampu menulis seindah Kitab Mazmur atau Pengkotbah.

Tanpa  aku sengaja, penulis-penulis favoritku kebanyakan adalah perempuan. Mulai dari NH Dini yang gemar menulis rinci dan gamblang tanpa tedeng aling-aling, Elizabeth Gilbert yang mencari Tuhan dengan cara yang tidak biasa, Dewi Dee Lestari yang suka permainan pikiran dan sains, dan Ayu Utami yang tidak segan menggambarkan seks dari kacamata perempuan. Aku juga menikmati tulisan rekan-rekan blogger seperti Riana Ambarsari, Hanna Naniek, Dian Mertani-Akhtar, dan banyak lagi.

Catatan: saking tergila-gilanya aku dengan tulisan Riana, sampai-sampai bukunya aku order online. Nggak cukup satu, tapi dua. Nggak cuma itu, harus dikasih tandatangan. Karena aku yakin suatu hari kamu akan melayang jauh ke angkasa, Cantik.

Bukan karena aku feminis tetapi aku suka perempuan yang punya karakter kuat, yang tetap rajin menenun asa bahkan ketika rutinitas hidup memudarkan aura. Lagipula, bukankah perempuan itu memang indah?

Maka ... izinkan aku menulis lagi. Berbagi hati denganmu. Maukah kau menerimaku kembali?

Paiton, 23 Maret 2011

Friday, May 4, 2007

Halaman Baruku

Aku memandangi halaman rumahku yang baru dengan rasa senang. Ini tempat baruku, tempat bercengkerama di kala senggang, saat aku ingin menikmati indahnya pagi atau ramahnya senja.
Selamat datang, Teman. Selamat bersantai di sini. Akan kuambilkan secangkir teh untukmu. Nikmatilah suasana.

Paiton, 4 Mei 2007